A. Pragmatik
dan Konteks Wacana
Menurut Brown dan Yule (1983) dalam
menganalisis wacana seharusnya menggunakan pendektan pragmatik untuk memahami
pemakaian bahasa. Unsur bahasa yang paling jelas memerlukan informasi
kontekstual adalah bentuk-bentuk diektis, seperti di sisni, sekarang, saya,
kamu, ini dan itu. Untuk menafsirkan
bentuk-bentuk deiksis, analisis wacana bahasa Indonesia perlu mengetahui siapa
penutur dan pendengarnya, waktu dan ujaran itu. Pada bagian ini akan membahas
beberapa konsep yang berkaitan dengan konteks wacana yang diperlukan dalam
analisis wacana., seperti praanggapan, implikatur, dan informasi lama dan baru.
1. Praanggapan
(presupposition)
Di
dalam analisis wacana, praanggapan memegang keruntutan(koherensi) wacana
(Slinker et al. 1974). Menurut Filmore
(1981) dalam sebuah percakapan, selalu digunakan tingkat-tingkat
komunikasi yang implisit atau
praanggapan dan eksplisit atau ilokusi.
Menurut
Chika (1982:76), dalam beberapa hal makna wacana dapat dicari melalui
praanggapan yang mengacu pada makna yang dinyatakan secara eksplisit.
(1) Ayah
saya datang dari Surabaya.
-
Peranggapannya adalah: a.
Saya memiliki ayah; b. Ada kota Surabaya.
Fungsi praanggapan ialah membantu
mengurangi hambatan respon terhadap penafsiran suatu ujaran. Menurut Leec
(1981:288) praangaapan sebagai suatu
dasar kelancaran wacana yang komunikatif. Pernyataan dari suatu praanggapan
akan menjadi praanggapan bagi ujaran selanjutnya.
Contoh:
a. Apakah
Andi masih menjadi ketua RT?
b. Andi
masih menjabati kedudukan sebagai ketua RT.
-
Praanggapannya (a) Andi
menjadi ketua RT pada masa lampau.
-
Praanggapan (b) : -
Andi menjadi ketua RT pada masa lampau.
- Andi
adalah ketua RT pada masa sekarang.
Dalam menafsirkan kalimat-kalimat
yang tidak terterima, meskipun kalimat itu benar secara gramatikal dilihat dari
segi strukturnya. Contoh:
b. Orang
itu sakit.
Kalimat (a) tidak terterima
meskipun dalam segi gramatikal benar. Sedangkan kalimat (b) terterima karena
yang menerima praanggapan hanya yang bernyawa atau hidup yang dapat sakit. Ketidakterimaan kalimat dapat dipecahkan dalam ujaran yang sebenarnya
dengan cara interpretasi metaforik.
Contoh: Gunung
berapi itu batuk-batuk. Sebenarnya makhluk yang dapat batuk-batuk hanyalah
makhluk yang bernyawa. Karena alasan metaforik, maka kalimat tersebut dapat
terterima (Sauren, 1965: 11)
Untuk menarik sebuah praanggapan
dari sebuah pernyataan(ujaran) yang perlu kita perhatikan adalah sesuatu yang
dijadikan oleh si penutur sebagai dasar penuturnya.contoh:
a. Kami
tidak jadi berangkat.
-
Praanggapan (a) kata tidak jadi berangkat adalah seharusnya kami berangkat.
-
Praanggapan (b) bahwa mempunyai mobil.
-
Jadi, peranggapan kedua
kalimat (a) dan (b) adalah:
a. Kami
seharusnya berangkat.
Konsep
implikatur pertama kali dikenalkan oleh H.P Grice (1975) untuk memecahkan
persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa.
Implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa
yang dimaksud oleh penutur
berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah (Brown dan Yule,
1983:31). Contoh: Di sini panas sekali
bukan?. Pada ujaran tersebut secara implisit penutur menghendaki agar mesin
pendingin dihidupkan atau jendela di buka.
Menurut
Grice (1975), dalam pemakaian bahasa terdapat implikatur yang disebut
implikatur konvensional, yaitu implikatur yang ditentukan oleh ‘arti
konvensional kata-kata yang dipakai’. Contoh:
(a) Dia
orang Madura, oleh karena itu dia pemberani.
Dalam kalimat (a) penutur tidak
secara langsung menyatakan bahwa suatu ciri pemberani adalah ciri lain dari
orang Madura, bentuk ungkapan yang dipakai itu secara konvensional berimplikasi
bahwa hubungan seperti itu ada. Jika orang Madura adalah bukan pemberani, maka
implikaturnya yang keliru, tetapi ujarannya tidak salah.
Yang lebih menarik bagi analisis
wacana adalah konsep implikatur percakapan yang diturunkan dari asas umum
percakapan ditambah sejumlah bidal (maxims)
yang biasanya dipatuhi para penitur (Brown da Yule, 1983). Implikatur
percakapan itu mengutip prinsip kerja sama atau kesepakatan bersama, yakni
kesepakatan bahwa hal yang dibicarakan oleh partisipan harus saling terkait
(Grice, 1975)
Dalam penerapan prinsip kerja sama
ditopang oleh seperangkat asumsi yang disebut bidal-bidal percakapan (maxims of conversation), yaitu:
1. Bidal Kuantitas,
yaitu berikan sumbangan Anda seinformatif yang diperlukan, jangan memberikan
sumbangan informasi yang melebihi kebutuhan;
2. Bidal Kualitas,
yaitu jangan mengatakan Sesuatu yang Anda yakini tidak benar, dan jangan
mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan;
3. Bidal
Hubungan,yaitu usahakan perkataan Anda ada relevansinya.
4. Bidal
Cara, yaitu hindari pernyataan-pernyataan yang samar, hindari ketaksaan,
usahakan agar ringkas, dan usahakan agar bicara dengan teratur (Grice, 1975:
45-56)
Leech (1985) memgomentari bidal
percakapan Grice tersebut sebagai kendala di dalam berbahasa. Dalam kenyataan
berbahasa prinsip kerja sama Grice tidak selalu dapat diikuti. Leech (1985:17)
mengatakan bahwa dalam pragmatik, komunikasi bahasa merupakan gabungan antara
tujuan ilokusi dan tujuan sosial. Dengan demikian, dalam komunikasi bahasa itu,
di samping menyampaikan amanat dan bertindak tutur, kebutuhan dan tugas penutur
adalah menjaga agar percakapan berlangsung lancar. Untuk itu menurut Leech, prinsip kerja sama
Grice harus berkomplemen dengan prinsip sopan santun agar kerja sama terselamatkan
dari kesulitan menjelaskan antara makna dan daya.
Contoh:
A : “Ada yang memecahkan pot ini?”
B : “Bukan saya?”
Dalam contoh di atas si A ingin bersikap sopan, A tidak mengucapkan
tuduhan langsung. Sebagai gantinya A membuat pernyataan yang kurang informatif
tetapi benar, yaitu mengganti pronominal
kamu denagn pronominal tak
tentu ‘ada yang….’. B menangkap
maksud A, bahwa itu ditafsirkan senagai sebuah tuduhan secara tidak langsung.
Akibatnya B mendengar pernyataan itu , B member respons sebagai orang yang dituduh,
yaitu menyangkal suatu perbuatan yang belum dituduhkan secara terbuka. Jadi
pelanggaran maxim hubungan dalam jawaban B disebabkan oleh imlikatur di dalam
ujaran A , sebuah implikatur tak lansung yang domotivasi oleh sopan santun.
Jadi sasaran jawaban B adalah implikatur ini, bukan ujaran A uang sesungguhnya
di ucapkan.
Menurut Levinson (1983) ada empat
macam faedah konsep implikatur, yaitu
a. Dapat
memberikan penjelasan makna atau fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau
oleh teori-teori linguistik;
b. Dapat
memberikan penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah dari yang dimaksud
si pemakai bahasa;
c. Dapat
memberikan pemberian semantik yang sederhana tentang hubungan klausa yang dihubungkan denagn kata
penghubung yang sama;
d. Dapat
memberikan berbagi fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan, malah
berlawanana (seperti metafora).
Dalam linguistik dikatakanbahwa bahasa mengandung
dua unsur,yaitu unsur segmental dan nonsegmental. Unsur segmental yang berupa
satuan-satuan bahasa yang dapat di pisah-pisahkan(seperti bunyi, kata, kalimat)
sangat penting untuk menyampaikan pesan. Unsur segmental yang disertai unsur
nonsegmental tertentu memilki makna tertentu.
Contoh: /kemeja/ berbeda dengan /ke meja/
/kelereng/berbeda dengan/ke lereng/
Dalam
kegiatan berbahasa sehari-hari, kita hampir selalu dapat mengerti ujaran yang
sisampaikan oleh mitra tutur kita. Menurut Chomsky (1972) , satu kemampuan yang
membuat kita mampu melakukan itu adalah penguasaan kita terhadap kaidah-kaidah
bahasa. Hal itulah yang membuat kita mampu mempertimbangkan secar intuitifbahwa
suatu ujaran yang diucapkan mitra tutur ‘apik’ atau ‘tidak apik’, dan mampu
mempertimbangkan fakta-fakta sintaksis bahasa yang digunakan. Penguasaan
kaidah-kaidah itu oleh Chomsky disebut kompetensi
linguistik . Kemampuan linguistik merupakan kemampuan dasar utama untuk
memahami implikatur dalam percakapan.
Istilah
implikatur berantonim dengan eksplikatur. Implikatur adalah makna yang tersirat
yang ditimbulkan oleh apa yang telah terkatakan. Sedangkan eksplikatur adalah
makna umum secara tersurat.
Contoh:
(konteks: udara
sangat dingin, seorang suami mengatakan pada istrinya yang sedang berada di
sampingnya)
1. Implikatur :
- permintaan kepada istrinya untuk mengambilkan baju hangat.
-
permintaan kepada istrinya untuk di hangatkan dengan pelukan sang istri.
2. eksplikatur: - informasi bahwa keadaan
saat itu sangat dingin.
Implikatur di bedakan atas dua
macam yaitu
(1) implikatur
yang berupa makna yang tersirat dari sebuah ujaran .
(2) implikatur
yang berupa makna yang tersorot.
A : aduh, perutku keroncongan.
B : Ok, kita kewarungsari saja.
Makna implikatur mungkin
berkebalikan dengan makna eksplikatur namun tidak menimbulkan pertentangan
logika. Contoh: seorang ibu mengetahui anaknya sedang memanjat pohon, kemudian
mengucapkan sebagai berikut.
Ibu: “Ayo naik lebih tinggi lagi.
Ayo naik!
Ujaran tersebut bukan bermaksud
untuk menyuruh anaknya untuk memanjat akan tetapi tidak secara langsung
menyuruh anaknya segera turun. Makna implikatur sering juga digunakan secara
analogi seperti dalam pribahasa atau ungkapan di bawah ini.
§ Tong
kosong nyaring bunyinya.
Analogi pribahasa diatas yaitu,
hampir semua orang mengetahui bahwa tong yang tidak berisi jika dipukul akan
mengeluarkan suara nyaring. Makna implisit yang digunakan adalah orang yang
banyak bicara itu tidak mengetahuan atau kosong seperti tong yang dapat
mengeluarkan suara keras.
Penggunaan bahasa sehari-hari,
penutur dapat menggunakan tindak tutur langsung dan tidak langsung. Contohnya
dalam kalimat perintah. Penggunaan kalimat perintah berarti menyatakan tindak
tutur secara langsung. Cara lain untuk menyatakan tindak tutur memerintah
adalah menggunakan kontruksi kalimat berita dan tanya.
Contoh:
§ Perintah
langsung: Tutuplah pintu itu!
§ Perintah
tidak lansung: Siapa yang mau menutup pintu?
Implikatur sebuah ujaran dapat
dipahami antara lain dengan menganalisis konteks pemakaian ujaran.
Contoh:
§ Saya
akan ke Surabaya besok.
Makna ujaran di atas bermakna
sebagai janji, informasi, pernyataan maksud, dan menduga atau meramalkan
kegiatan yang akan datang disebut tindak tutur. Makna ujaran di atas masih
ambiguitas atau bermakna ganda, bila tidak disertai dengan konteks
penggunaanya. Kemungkinan makna itu antara lain sebagi berikut.
§ Saya
berjanji bahwa saya akan ke Surabaya
besok.
§ Saya
(menduga) mungkin akan ke Surabaya besok.
3. Inferensi
Inferensi atau penarikan kesimpulan
dikatakan oleh Gumperz (1982) sebagai proses interpretasi yang ditentukan oleh
situasi dan konteks percakapan. dengan demikian pendengar menduga kemauan
penutur, dan dengan itu pula pendengar meresponsnya. Dengan begitu inferensi
percakapan tidak hanya ditentukan oleh kata-kata pendukung ujaran itu saja,
melainkan juga didukung oleh konteks dan situasi. Sebuah gagasan yang terdapat
dalam otak penutur direlisasikan dalam bentuk kalimat-kalimat. Jika penutur
tidak pandai dalam menyusun kalimat maka akan terjadi kesalahpahaman.
Contoh:
A :
Saya baru bertemu Toni.
B : Oh,
si Toni kawan kita di SMA itu?
A :
Bukan, tapi Toni kawan di SMP dulu.
B :
Toni yang gemuk itu?
A :
Bukan, bukan Toni yang gemuk, tetapi Toni yang kurus.
B : Oh,
ya, saya tahu.
Pengetahuan gramatikal dan leksikal
saja tidak cukup mengartikan sebuah ujaran dengan benar. Latar belakang,
sosiokultural si penutur dan pendengar serta status mereka turut berperan dalam
proses inferensi ujaran. Jika terdapat pperbedaan antara si penutur dan
pendengar baik dalam sikap, latar belkaang serta status mereka kemungkinan
penarikan kesimpulan yang salah bisa terjadi. Contoh:
a) John
berangkat ke sekolah hari jum’at lalu
b) Dia
benar-benar cemas dengan pelajaran matematika.
Kebanyakan orang membaca dua
kalimat di atas John adalah seorang murid. Akan tetapi jika ujaran di lanjutkan
dengab kalimat di bawah ini orang akan memutuskan bahwa John adalah seorang
guru.
c) Minggu
yang lalu dia tidak dapat mengendalikan kelasnya.
4. Inferensi
Mata Rantai yang Hilang (Missing Link Inference)
Contoh:
a. Pak
Joni membeli rumah baru
b. Pintunya
dari kayu jati.
Ø Inferensi
mata rantai yang hilang yang diperlukan untuk menghubungkan (a) dan (b) secara
eksplisit: (c) Rumah
itu mempunyai pintu.
Hubungan otomatis antara
unsur-unsur dalam teks melalui representasi pengetahuan yang telah ada dapat
dipakai sebagi dasar untuk menentukkan hubungan yang mana yang hilang, dan yang
bukan, mungkin merupakan inferensi. Hubungan otomatis tidak dimasukkan dalam
inferensi karena perbedaannya adalah waktu yang yang tersangkut dalam
pengambilan kesimpulan, sedangakan hubungan otomatis tidak memerlukan waktu
dalam penafsirannya (Syamsuri, 1987:71). Contoh:
Ø 1.
Rudi Hartono menjadi juara All England 8 tahun berturut-turut.
Ø 2. a. Dia sopan santun.
b.dia waktu kecil adalah anak yang manis.
c. dia adalah juara bulu tangkis yang
andal.
Dapat ditarik
simpulan bahwa hubungan paling erat adalah antara 1 dengan 2c. jika seseorang
dapat menjadi juara delapan kali berturut-turut, sudah pasti dia merupakan
juara yang andal.
5. Peranan Konteks
Menurut Halliday dan Hasan (1985:5)
yang dimaksudkan konteks wacana adalah teks yang menyertai teks lain.
Pengertian hal yang menyertai teks itu meliputi tidak hanya yang dilisankan dan
tuliskan, tetapi termasuk pula kejadian-kejadian nonverbal lainnya keseluruhan
lingkungan teks itu.
Contoh:
a. Penutur
adalah rekan dari Anton, sedangkan pendengar rekannya yang lain. Ketika sore
itu ada 3 orang remaja sedang berjalan di taman. Tiba-tiba datanglah seorang
preman menghampiri mereka denagn bermaksud untuk memalak. Ada salah seorang
dari remaja itu berani melawan pemalak tersebut dan berhasil membuat pemalak
itu kabur. Salah satu dari rekannya berkata: “ Anton memang pemberani !”
b. Malam
itu ada seorang laki-laki berjalan dengan dua rekannya yang perempuan.
Tiba-tiba turun hujan yang sangat lebat. Merekapun berteduh di emper sebuah
toko. Tiba-tiba ada sekelebat bayangan putih. Tiba-tiba rekan laki-lakinya itu
langsung bersembunyi di balik rekan perempuannya. Salah seorang rekan
perempuannya berkata: “ Anton memang pemberani!”
Unsur-unsur
kalimat ‘ Anton memang pemberani’ pada situasi (a) terdapat pula pada situasi
(b). Unsur-unsur dari kalimat tersebut secara gramatika sama benar. Akan tetapi
terdapat perbedaan makna, yaitu pada kata pemberani
(a) bermakna sebenarnya, yaitu ‘orang yang tak gentar’, sedangkan kata pemberani (b) bermakna sebaliknya yaitu
‘penakut’.
Konteks
pemakaian bahasa dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut.
a. Konteks
fisik yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi.
b. Konteks
epstemis atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh penutur
dan mitra tuturnya.
c. Konteks
linguistik yang terdiri atas kalimat-kalimat atau ujaran-ujaran yang mendahului
dan mengikuti ujaran tertentu dalam suatu peristiwa komunikasi, konteks
linguistik ini disebut juga dengan istilah koteks.
d. Konteks
sosial yaitu relasi sosial dan latar yang melengkapi hubungan antara penutur
dan mitra tutur. (cf. Syafi’ie, 1990: 126).
Unsur-unsur
konteks terdiri atas 8 macam, yaitu:
a.
Penutur
dan pendengar
Penutur dan pendengar yang terlibat
dalam peristiwa tutur disebut partisipan. Berkaitan dengan partisipan ini yang
diperhatikan adalah latar belakang (sosial, budaya, dll), kondisi objektif partisipan
(fisik, mental, kemahiran berbahsa dll). Contoh:
Ø Operasi harus segera
dilakukan.
Maksud ujaran
itu jika penuturnya adalah ‘Dokter’ maka bermakna ‘pembedahan’. Jika penuturnya
adalah ‘penjahat’ , maka bermakna ‘merampok atau pencurian.
Memahami
topik pembicaraan akan memudahkan memahami isi wacana, sebab pembicaraan yang
berbeda akan menghasilkan bentuk wacana yang berbeda pula. Contohnya kata ‘
banting’ dalam sebuah wacana akan bervariasi maknanya, bergantung pada topik
pembicaraannya. Dalam bidang ekonomi mungkin berarti ‘turunnya harga’, jika
topiknya dalam olah raga yudo tentulah maknanya ‘ mengangkat seseorang dan
menjatuhkannya’.
Faktor
yang mempengaruhimakna wacana adalah latar peristiwa. Latar peristiwa dapat
berupa tempat, dan keadaan psikologis partisipan atau semua hal yang melatari
terjadinya peristiwa tutur. Tempat lebih banyak berpengaruh pada peristiwa
tutur lisan, sedangkan keadaan psikologis partisipan di samping berpengaruh
pada peristiwa tutur lisan juga bnayak berpengaruh pada peristiwa tutur tulis.
Latar
peristiwa menentukkan latar wacana, contoh di warung kopi, jika ada pembeli
bertutur ‘ Teh, Bu!’, maka
pelayan warung akan menafsirkan ujaran tersebut adalah ‘ segelas air teh’. Berbeda
jika ujaran ‘teh, Bu!’ di ucapkan di toko, maka pelayan tokoh akan
menafsirkan sebagai ‘daun the yang sudah dikeringkan’ bukan ‘ air teh’.
Keadaan
psikologi juga mewarnai bentuk dan makna wacana. Contoh: jika dalam keadaan
normal ada seseorang mengatakan kata ‘Bagus!’
pada orang yang berprestasi maka itu adalah sebuah pujian, sebaliknya jika
seseorang mengatakan ‘Bagus!’ pada
seorang ‘pemalas” maka maknanya
berubah menjadi cemohan.
Penghubung
adalah medium yang dipakai untuk menyampaikan topik tutur. Untuk menyampaikan
informasi, seorang penutur dapat mempergunakan penghubung dengan bahasa lisan
dan/atau tulis dengan paralinguistiknya. Ujaran lisan dapat dibedakan
berdasarkan sifat hubungan partisipan tutur, yaitu langsung (seperti berdialog)
dan tak langsung (seperti telepon, teleks dll.)
Ujaran
tulis merupakan sarana komunikasi dengan menggunakan tulisan sebagai
perantaranya, misalnya wujudnya berupa surat, pengumuman, edaran, undangan,
telegram, dll.
Pemilihan
penghubung itu sangat bergantung kepada beberapa factor, yaitu kepada siapa ia
berbicara, dalam situasi bagaimana(jauh atau dekat).
Kalau
penghubungnya itu lisan, maka kodenya dapat dipilih antara salah satu dialek
bahasa yang ada. Akan kurang tepat jika penggunaan ragam bahasa baku digunakan
untuk tawar menawar di pasar, sebaliknya ragam bahasa nonbaku kurang tepat jika
digunakan untuk berkhotbah di mesjid. Pemilihan kode bahasa yang tidak tepat
sanagt berpengaruh pada efektifan komunikasi yaitu akan timbul kesalahpahaman
komunikasi.
Faktor
yang mempengaruhi bentuk makana wacana adalah bentu pesan. Jika pendengarnya
bersifat umum dan dari berbagai lapisan masyarakat maka haruslah dipilih bentuk
pesan yang bersifat umum, sebaliknya jika pendenagrnya kelompoknya bersifat
khusus maka pesannya haruslah bersifat khusus.
Peristiwa
tutur yang dimaksud di sini adalah peristiwa tutur tertentu yang mewadahi
kegiatan bertutur, misalnya pidato, percakapan, seminar, sidang pengadilan,
dll. Hymes (1975:75) menyatakan bahwa peristiwa tutur sangat erat hubungannya
dengan latar peristiwa, dalam pengertian suatu peristiwa tutur tertentu akan
terjadi dalam konteks situasi tertentu. Peristiwa tutur tersebut dapat menentukan bentuk dan isi wacana
yang dihasilkan. Wacana yang dipersiapkan untuk pidato akan berbeda bentuk dan
isinya denagn wacana untuk seminar.
7.
Prinsip Interpretan Lokal dan Analogi
Prinsip interpretasi yang digunakan
oleh penerima dan juga oleh analis wacana yaitu, prinsip interpretasi lokal dan
prinsig analogi.
Menurut Brown dan Yule (1983:59),
prinsip interpretasi lokal menuntun untuk tidak menyusun konteks yang lebih
luas dari yang di butuhkan. Jadi, jika seseorang mengatakan ‘ Tutup pintu itu!’, maka perhatian
pendengar tertuju pada pintu yang berada di dekatnya. Prinsip ini sangat
tergantung pada pendengar/pembaca atau analis wacana dalam mengguanakn
kemampuannya dalam menginterpretasikan gejala bahasa yang dijumpainya. Prinsip
interpretasi lokal tidak hanya berlaku untuk tempat saja akan tetapi juga
terhadap waktu kejadian.
Di atas telah disinggung bahwa
penafsiran lokal tersebut dimungkinkan oleh pengetahuan kita terhadap
pengalaman yang serupa pada masa lampau dan pengetahuan kiat tentang ‘dunia’.
Pengalaman-pengalaman manusia itulah yang membimbing manusia di samping
tentunya akal budinya dalam menyesuaikan tingkah lakunya dengan
kebiasan-kebiasaan dal masyarakat. Jadi, manusia mempergunakan akal budinya
yang didasarkan atas pengalaman-pengalamannya. Dengan kata lain, ia menerapkan
apa yang disebut prinsip analogi. Dengan prinsip ini sebenarnya manusia
berpikir secara ‘berharap’. Prinsip analogi ini sangat penting dalam menentukan
penafsiran ujaran di dalam konteks, pengalaman masa lampau yang relevan bersama
prinsip penafsiran lokal akan mendorong pendengar/pembaca mencoba menafsirkan
uajaran yang berurutan sebagai hubungan
dengan topik yang sama.
Sumber:
Arifin, Bustanul dan Abdul rani. 2000. Prinsip-prinsip Analisis Wacana. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.