Wednesday, March 13, 2013

HASIL ANALISIS KOHESI DAN KOHERENSI DARI BERITA

KOBUKURO, DUO ASAL OSAKA YANG BERANGKAT DARI JALANAN

Liputan6.com, Osaka : Berasal dari dua nama keluarga Kobuchi dan Kuroda, demikianlah inspirasi nama grup ini diambil. Adalah Kentarou Kobuchi (gitar, vokal, instrumen lain) dan Shunsuke Kuroda (vokal utama) yang mendirikan Kobukuro.
Meski anggota grup ini cuma mereka berdua, lagu-lagu yang diciptakan banyak disukai di Jepang. Contoh saja Tsubomi, Sakura, dan Koko ni Shika Sakanai Hana yang berhasil membawa kesuksesan mereka sebagai salah satu duo grup beraliran folk rock yang digandrungi.
Sejak 1999, mereka merilis album pertama berjudul Saturday 8PM. Kemudian, barulah setelah mereka merilis album berjudul Nameless World (2005), tangga album pun berhasil dikuasai hingga sekarang.
Awal mula grup yang berasal dari Osaka ini pada saat Kobuchi dan Kuroda bertemu di sebuah daerah bernama Sakai. Kobuchi yang waktu itu menjadi salesman, selalu mengadakan konser jalanan setiap Sabtu untuk melepas lelah. Sementara Kuroda merupakan guru olahraga yang merangkap sebagai musisi jalanan.
Pada tahun 2001, mereka mengganti label rekaman menjadi di bawah naungan Warner Music Japan dengan single Yell yang sukses mencapai posisi keempat di tangga lagu Oricon.
Lagu Tsubomi yang dirilis pada 2007 sempat ditunjuk gitaris ternama Marty Friedman sebagai lagu yang sangat simple dengan aransemen yang jauh dari pengaruh musik barat.
Kobukuro merupakan band yang unik secara tampilan. Bukan karena dandanan maupun gaya mereka yang membuat unik. Namun tinggi sang vokalis Kuroda yang mencapai 193 cm sangat kontras dengan tinggi badan sang gitaris Kobuchi yang hanya mencapai 168 cm.(Rul)

Sumber:
http://id.berita.yahoo.com/kobukuro-duo-asal-osaka-yang-berangkat-dari-jalanan-141036369.html
------------------------------------------------------------------------------

ANALISIS KOHESI DAN KOHERENSI

1.      Pada paragraf pertama, merupakan kohesi gramatikal yang berbentuk referensi anafora karena adanya kata “ini” mengacu dari awal kalimat “Berasal dari dua nama keluarga...” dan terjadi referensi katafora yang mengacu juga pada kalimat seterusnya yang berbunyi “Adalah Kentarou Kobuchi (gitar, vokal, instrumen lain) dan Shunsuke Kuroda (vokal utama)...”. Paragraf pertama juga bersifat koheren karena adanya simpulan yang berbunyi “Berasal dari dua nama keluarga..., Demikianlah nama grup ini.....”. Intinya, pada paragraf pertama bisa dikatakan kohesi dan koheren.

2.      Pada paragraf kedua, merupakan kohesi gramatikal yang berbentuk referensi anafora karena adanya kata “ini” mengacu pada paragraf pertama “...Kobukuro” dan kata “mereka berdua” mengacu pada paragraf pertama “Kentarou Kobuchi dan Shunsuke Kuroda”. Dan terjadi kohesi yang berupa konjungsi pertentangan yaitu terdapat pada bagian kalimat “Meski anggota grup ini cuma mereka berdua, lagu-lagu yang diciptakan banyak disukai di Jepang”. Dan koherennya berbentuk contoh yaitu dalam kalimat "Contoh saja Tsubomi, Sakura, dan Koko ni Shika Sakanai Hana...."

3.      Pada paragraf ketiga, merupakan kohesi gramatikal yang berbentuk konjungsi urutan atau sekuential, terdapat kata “Kemudian” pada bagian kalimat “Sejak 1999, mereka merilis album pertama berjudul Saturday 8PM. Kemudian, barulah setelah mereka merilis album berjudul Nameless World (2005),.....”. dan terdapat referensi pada kata “Mereka” mengacu pada paragraf pertama “Kentarou Kobuchi dan Shunsuke Kuroda”.

4.      Pada paragraf keempat, merupakan kohesi gramatikal yang berbentuk referensi anafora, yaitu terdapat kalimat “Awal mula grup yang berasal dari Osaka ini pada saat Kobuchi dan Kuroda bertemu di sebuah daerah bernama Sakai.” Terdapat koherensi yang berbentuk waktu yaitu berupa kata “Awal mula....” dan “Sementara...”. Juga terdapat beberapa bagian kohesi yaitu kata “ini” yang mengacu pada nama “Kobukuro..” dan kata “itu” yang mengacu pada waktu awal mula membentuk grup.

5.      Pada paragraf kelima, merupakan kohesi gramatikal referensi persona ketiga berbentuk jamak. Karena terdapat  kata “mereka” yang mengacu pada kedua nama tersebut. Dan hal serupa terdapat pada paragraf sebelumnya.

6.      Pada paragraf keenam, tidak terdapat kohesi dan koheren karena hanya berupa pernyataan.

7.      Pada paragraf ketujuh, merupakan koherensi yang mengandung unsur kontras. Karena pada kalimat awal menyatakan keunikan “Kobukuro merupakan band yang unik secara tampilan”, kalimat seterusnya berupa pernyataan “Bukan karena dandanan maupun gaya mereka yang membuat unik”, dan kalimat terakhir yang menjadi kontrasnya “Namun tinggi sang vokalis Kuroda yang mencapai 193 cm sangat kontras dengan tinggi badan sang gitaris Kobuchi yang hanya mencapai 168 cm.”.


Sunday, March 10, 2013

PEMBAHASAN MATERI KELOMPOK 3 "KONTEKS WACANA"

A.   Pragmatik dan Konteks Wacana
Menurut Brown dan Yule (1983) dalam menganalisis wacana seharusnya menggunakan pendektan pragmatik untuk memahami pemakaian bahasa. Unsur bahasa yang paling jelas memerlukan informasi kontekstual adalah bentuk-bentuk diektis, seperti di sisni, sekarang, saya, kamu, ini dan itu.  Untuk menafsirkan bentuk-bentuk deiksis, analisis wacana bahasa Indonesia perlu mengetahui siapa penutur dan pendengarnya, waktu dan ujaran itu. Pada bagian ini akan membahas beberapa konsep yang berkaitan dengan konteks wacana yang diperlukan dalam analisis wacana., seperti praanggapan, implikatur, dan informasi lama dan baru.

1.    Praanggapan (presupposition)
   Di dalam analisis wacana, praanggapan memegang keruntutan(koherensi) wacana (Slinker et al. 1974). Menurut  Filmore (1981) dalam sebuah percakapan, selalu digunakan tingkat-tingkat komunikasi  yang implisit atau praanggapan dan eksplisit atau ilokusi.
Menurut Chika (1982:76), dalam beberapa hal makna wacana dapat dicari melalui praanggapan yang mengacu pada makna yang dinyatakan secara eksplisit.
Contoh:
(1)   Ayah saya datang dari Surabaya.
-          Peranggapannya adalah: a. Saya memiliki ayah; b. Ada kota Surabaya.
Fungsi praanggapan ialah membantu mengurangi hambatan respon terhadap penafsiran suatu ujaran. Menurut Leec (1981:288) praangaapan  sebagai suatu dasar kelancaran wacana yang komunikatif. Pernyataan dari suatu praanggapan akan menjadi praanggapan bagi ujaran selanjutnya.
Contoh:
a.       Apakah Andi masih menjadi ketua RT?
b.      Andi masih menjabati kedudukan sebagai ketua RT.
-          Praanggapannya (a)  Andi  menjadi ketua RT pada masa lampau.
-          Praanggapan (b) : - Andi menjadi ketua RT pada masa lampau.
      -  Andi adalah ketua RT pada masa sekarang.
Dalam menafsirkan kalimat-kalimat yang tidak terterima, meskipun kalimat itu benar secara gramatikal dilihat dari segi strukturnya. Contoh:
a.       Mobil itu sakit.
b.      Orang itu sakit.
Kalimat (a) tidak terterima meskipun dalam segi gramatikal benar. Sedangkan kalimat (b) terterima karena yang menerima praanggapan hanya yang bernyawa atau hidup yang dapat sakit. Ketidakterimaan kalimat  dapat dipecahkan dalam ujaran yang sebenarnya dengan cara interpretasi metaforik. 
Contoh: Gunung berapi itu batuk-batuk. Sebenarnya makhluk yang dapat batuk-batuk hanyalah makhluk yang bernyawa. Karena alasan metaforik, maka kalimat tersebut dapat terterima (Sauren, 1965: 11)
Untuk menarik sebuah praanggapan dari sebuah pernyataan(ujaran) yang perlu kita perhatikan adalah sesuatu yang dijadikan oleh si penutur sebagai dasar penuturnya.contoh:
a.       Kami tidak jadi berangkat.
b.      Mobil kami rusak.
-          Praanggapan (a) kata tidak jadi berangkat adalah seharusnya kami berangkat.
-          Praanggapan (b) bahwa mempunyai mobil.
-          Jadi, peranggapan kedua kalimat (a) dan (b) adalah:
a.       Kami seharusnya berangkat.
b.      Kami mempunyai mobil.

2.    Implikatur
    Konsep implikatur pertama kali dikenalkan oleh H.P Grice (1975) untuk memecahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa. Implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa  yang dimaksud oleh penutur  berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah (Brown dan Yule, 1983:31). Contoh: Di sini panas sekali bukan?. Pada ujaran tersebut secara implisit penutur menghendaki agar mesin pendingin dihidupkan atau jendela di buka.
Menurut Grice (1975), dalam pemakaian bahasa terdapat implikatur yang disebut implikatur konvensional, yaitu implikatur yang ditentukan oleh ‘arti konvensional kata-kata yang dipakai’. Contoh:
(a)    Dia orang Madura, oleh karena itu dia pemberani.
Dalam kalimat (a) penutur tidak secara langsung menyatakan bahwa suatu ciri pemberani adalah ciri lain dari orang Madura, bentuk ungkapan yang dipakai itu secara konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti itu ada. Jika orang Madura adalah bukan pemberani, maka implikaturnya yang keliru, tetapi ujarannya tidak salah.
Yang lebih menarik bagi analisis wacana adalah konsep implikatur percakapan yang diturunkan dari asas umum percakapan ditambah sejumlah bidal (maxims) yang biasanya dipatuhi para penitur (Brown da Yule, 1983). Implikatur percakapan itu mengutip prinsip kerja sama atau kesepakatan bersama, yakni kesepakatan bahwa hal yang dibicarakan oleh partisipan harus saling terkait (Grice, 1975)
Dalam penerapan prinsip kerja sama ditopang oleh seperangkat asumsi yang disebut bidal-bidal percakapan (maxims of conversation), yaitu:
1.      Bidal Kuantitas, yaitu berikan sumbangan Anda seinformatif yang diperlukan, jangan memberikan sumbangan informasi yang melebihi kebutuhan;
2.      Bidal Kualitas, yaitu jangan mengatakan Sesuatu yang Anda yakini tidak benar, dan jangan mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan;
3.      Bidal Hubungan,yaitu usahakan perkataan Anda ada relevansinya.
4.      Bidal Cara, yaitu hindari pernyataan-pernyataan yang samar, hindari ketaksaan, usahakan agar ringkas, dan usahakan agar bicara dengan teratur (Grice, 1975: 45-56)
Leech (1985) memgomentari bidal percakapan Grice tersebut sebagai kendala di dalam berbahasa. Dalam kenyataan berbahasa prinsip kerja sama Grice tidak selalu dapat diikuti. Leech (1985:17) mengatakan bahwa dalam pragmatik, komunikasi bahasa merupakan gabungan antara tujuan ilokusi dan tujuan sosial. Dengan demikian, dalam komunikasi bahasa itu, di samping menyampaikan amanat dan bertindak tutur, kebutuhan dan tugas penutur adalah menjaga agar percakapan berlangsung lancar.  Untuk itu menurut Leech, prinsip kerja sama Grice harus berkomplemen dengan prinsip sopan santun agar kerja sama terselamatkan dari kesulitan menjelaskan antara makna dan daya. 
Contoh:
A   : “Ada yang memecahkan pot ini?”
B   : “Bukan saya?”
Dalam contoh di atas si  A ingin bersikap sopan, A tidak mengucapkan tuduhan langsung. Sebagai gantinya A membuat pernyataan yang kurang informatif tetapi benar, yaitu mengganti pronominal  kamu denagn pronominal tak tentu ‘ada yang….’. B menangkap maksud A, bahwa itu ditafsirkan senagai sebuah tuduhan secara tidak langsung. Akibatnya B mendengar pernyataan itu , B member respons sebagai orang yang dituduh, yaitu menyangkal suatu perbuatan yang belum dituduhkan secara terbuka. Jadi pelanggaran maxim hubungan dalam jawaban B disebabkan oleh imlikatur di dalam ujaran A , sebuah implikatur tak lansung yang domotivasi oleh sopan santun. Jadi sasaran jawaban B adalah implikatur ini, bukan ujaran A uang sesungguhnya di ucapkan.
Menurut Levinson (1983) ada empat macam faedah konsep implikatur, yaitu
a.       Dapat memberikan penjelasan makna atau fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori-teori linguistik;
b.      Dapat memberikan penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah dari yang dimaksud si pemakai bahasa;
c.       Dapat memberikan pemberian semantik yang sederhana tentang hubungan  klausa yang dihubungkan denagn kata penghubung yang sama;
d.      Dapat memberikan berbagi fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan, malah berlawanana (seperti metafora).
Dalam linguistik dikatakanbahwa bahasa mengandung dua unsur,yaitu unsur segmental dan nonsegmental. Unsur segmental yang berupa satuan-satuan bahasa yang dapat di pisah-pisahkan(seperti bunyi, kata, kalimat) sangat penting untuk menyampaikan pesan. Unsur segmental yang disertai unsur nonsegmental tertentu memilki makna tertentu.
Contoh: /kemeja/ berbeda dengan /ke meja/
             /kelereng/berbeda dengan/ke lereng/
Dalam kegiatan berbahasa sehari-hari, kita hampir selalu dapat mengerti ujaran yang sisampaikan oleh mitra tutur kita. Menurut Chomsky (1972) , satu kemampuan yang membuat kita mampu melakukan itu adalah penguasaan kita terhadap kaidah-kaidah bahasa. Hal itulah yang membuat kita mampu mempertimbangkan secar intuitifbahwa suatu ujaran yang diucapkan mitra tutur ‘apik’ atau ‘tidak apik’, dan mampu mempertimbangkan fakta-fakta sintaksis bahasa yang digunakan. Penguasaan kaidah-kaidah itu oleh Chomsky disebut kompetensi linguistik . Kemampuan linguistik merupakan kemampuan dasar utama untuk memahami implikatur dalam percakapan.
Istilah implikatur berantonim dengan eksplikatur. Implikatur adalah makna yang tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang telah terkatakan. Sedangkan eksplikatur adalah makna umum secara tersurat. 
Contoh:
Ø  Suami: dingin sekali?
(konteks: udara sangat dingin, seorang suami mengatakan pada istrinya yang sedang berada di sampingnya)
1. Implikatur : - permintaan kepada istrinya untuk mengambilkan baju hangat.
                      - permintaan kepada istrinya untuk di hangatkan dengan pelukan sang istri.
2. eksplikatur: - informasi bahwa keadaan saat itu sangat dingin.

Implikatur di bedakan atas dua macam yaitu
(1)   implikatur yang berupa makna yang tersirat dari sebuah ujaran .
(2)   implikatur yang berupa makna yang tersorot.
Contoh:
A   : aduh, perutku keroncongan.
B   : Ok, kita kewarungsari saja.
   Makna implikatur mungkin berkebalikan dengan makna eksplikatur namun tidak menimbulkan pertentangan logika. Contoh: seorang ibu mengetahui anaknya sedang memanjat pohon, kemudian mengucapkan sebagai berikut.
Ibu: “Ayo naik lebih tinggi lagi. Ayo naik!
      Ujaran tersebut bukan bermaksud untuk menyuruh anaknya untuk memanjat akan tetapi tidak secara langsung menyuruh anaknya segera turun. Makna implikatur sering juga digunakan secara analogi seperti dalam pribahasa atau ungkapan di bawah ini.
§  Tong kosong nyaring bunyinya.
Analogi pribahasa diatas yaitu, hampir semua orang mengetahui bahwa tong yang tidak berisi jika dipukul akan mengeluarkan suara nyaring. Makna implisit yang digunakan adalah orang yang banyak bicara itu tidak mengetahuan atau kosong seperti tong yang dapat mengeluarkan suara keras.
Penggunaan bahasa sehari-hari, penutur dapat menggunakan tindak tutur langsung dan tidak langsung. Contohnya dalam kalimat perintah. Penggunaan kalimat perintah berarti menyatakan tindak tutur secara langsung. Cara lain untuk menyatakan tindak tutur memerintah adalah menggunakan kontruksi kalimat berita dan tanya.
Contoh:
§  Perintah langsung: Tutuplah pintu itu!
§  Perintah tidak lansung: Siapa yang mau menutup pintu?

Implikatur sebuah ujaran dapat dipahami antara lain dengan menganalisis konteks pemakaian ujaran. 
Contoh:
§  Saya akan ke Surabaya besok.
Makna ujaran di atas bermakna sebagai janji, informasi, pernyataan maksud, dan menduga atau meramalkan kegiatan yang akan datang  disebut tindak tutur. Makna ujaran di atas masih ambiguitas atau bermakna ganda, bila tidak disertai dengan konteks penggunaanya. Kemungkinan makna itu antara lain sebagi berikut.
§  Saya berjanji  bahwa saya akan ke Surabaya besok.
§  Saya (menduga) mungkin akan ke Surabaya besok.

3.    Inferensi
   Inferensi atau penarikan kesimpulan dikatakan oleh Gumperz (1982) sebagai proses interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks percakapan. dengan demikian pendengar menduga kemauan penutur, dan dengan itu pula pendengar meresponsnya. Dengan begitu inferensi percakapan tidak hanya ditentukan oleh kata-kata pendukung ujaran itu saja, melainkan juga didukung oleh konteks dan situasi. Sebuah gagasan yang terdapat dalam otak penutur direlisasikan dalam bentuk kalimat-kalimat. Jika penutur tidak pandai dalam menyusun kalimat maka akan terjadi kesalahpahaman. 
Contoh:
A         : Saya baru bertemu Toni.
B         : Oh, si Toni kawan kita di SMA itu?
A         : Bukan, tapi Toni kawan di SMP dulu.
B         : Toni yang gemuk itu?
A         : Bukan, bukan Toni yang gemuk, tetapi Toni yang kurus.
B         : Oh, ya, saya tahu.
Pengetahuan gramatikal dan leksikal saja tidak cukup mengartikan sebuah ujaran dengan benar. Latar belakang, sosiokultural si penutur dan pendengar serta status mereka turut berperan dalam proses inferensi ujaran. Jika terdapat pperbedaan antara si penutur dan pendengar baik dalam sikap, latar belkaang serta status mereka kemungkinan penarikan kesimpulan yang salah bisa terjadi. Contoh:
a)      John berangkat ke sekolah hari jum’at lalu
b)      Dia benar-benar cemas dengan pelajaran matematika.
Kebanyakan orang membaca dua kalimat di atas John adalah seorang murid. Akan tetapi jika ujaran di lanjutkan dengab kalimat di bawah ini orang akan memutuskan bahwa John adalah seorang guru.
c)      Minggu yang lalu dia tidak dapat mengendalikan kelasnya.

4.    Inferensi Mata Rantai yang Hilang (Missing Link Inference)
    Contoh:
      a.       Pak Joni membeli rumah baru
      b.      Pintunya dari kayu jati.
Ø  Inferensi mata rantai yang hilang yang diperlukan untuk menghubungkan (a) dan (b) secara eksplisit: (c) Rumah itu mempunyai pintu.
Hubungan otomatis antara unsur-unsur dalam teks melalui representasi pengetahuan yang telah ada dapat dipakai sebagi dasar untuk menentukkan hubungan yang mana yang hilang, dan yang bukan, mungkin merupakan inferensi. Hubungan otomatis tidak dimasukkan dalam inferensi karena perbedaannya adalah waktu yang yang tersangkut dalam pengambilan kesimpulan, sedangakan hubungan otomatis tidak memerlukan waktu dalam penafsirannya (Syamsuri, 1987:71). Contoh: 
Ø  1. Rudi Hartono menjadi juara All England 8 tahun berturut-turut.
Ø  2.  a. Dia sopan santun.
         b.dia waktu kecil adalah anak yang manis.
         c. dia adalah juara bulu tangkis yang andal.
Dapat ditarik simpulan bahwa hubungan paling erat adalah antara 1 dengan 2c. jika seseorang dapat menjadi juara delapan kali berturut-turut, sudah pasti dia merupakan juara yang andal.

5. Peranan Konteks
    Menurut Halliday dan Hasan (1985:5) yang dimaksudkan konteks wacana adalah teks yang menyertai teks lain. Pengertian hal yang menyertai teks itu meliputi tidak hanya yang dilisankan dan tuliskan, tetapi termasuk pula kejadian-kejadian nonverbal lainnya keseluruhan lingkungan teks itu. 
Contoh:
a.       Penutur adalah rekan dari Anton, sedangkan pendengar rekannya yang lain. Ketika sore itu ada 3 orang remaja sedang berjalan di taman. Tiba-tiba datanglah seorang preman menghampiri mereka denagn bermaksud untuk memalak. Ada salah seorang dari remaja itu berani melawan pemalak tersebut dan berhasil membuat pemalak itu kabur. Salah satu dari rekannya berkata: “ Anton memang pemberani !”
b.      Malam itu ada seorang laki-laki berjalan dengan dua rekannya yang perempuan. Tiba-tiba turun hujan yang sangat lebat. Merekapun berteduh di emper sebuah toko. Tiba-tiba ada sekelebat bayangan putih. Tiba-tiba rekan laki-lakinya itu langsung bersembunyi di balik rekan perempuannya. Salah seorang rekan perempuannya berkata: “ Anton memang pemberani!”

Unsur-unsur kalimat ‘ Anton memang pemberani’ pada situasi (a) terdapat pula pada situasi (b). Unsur-unsur dari kalimat tersebut secara gramatika sama benar. Akan tetapi terdapat perbedaan makna, yaitu pada kata pemberani (a) bermakna sebenarnya, yaitu ‘orang yang tak gentar’, sedangkan kata pemberani (b) bermakna sebaliknya yaitu ‘penakut’.
Konteks pemakaian bahasa dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut.
a.       Konteks fisik yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi.
b.      Konteks epstemis atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh penutur dan mitra tuturnya.
c.       Konteks linguistik yang terdiri atas kalimat-kalimat atau ujaran-ujaran yang mendahului dan mengikuti ujaran tertentu dalam suatu peristiwa komunikasi, konteks linguistik ini disebut juga dengan istilah koteks.
d.      Konteks sosial yaitu relasi sosial dan latar yang melengkapi hubungan antara penutur dan mitra tutur. (cf. Syafi’ie, 1990: 126).

6.Unsur-unsur Konteks
    Unsur-unsur konteks terdiri atas 8 macam, yaitu:
a.      Penutur dan pendengar
      Penutur dan pendengar yang terlibat dalam peristiwa tutur disebut partisipan. Berkaitan dengan partisipan ini yang diperhatikan adalah latar belakang (sosial, budaya, dll), kondisi objektif partisipan (fisik, mental, kemahiran berbahsa dll). Contoh:
Ø  Operasi harus segera dilakukan.
Maksud ujaran itu jika penuturnya adalah ‘Dokter’ maka bermakna ‘pembedahan’. Jika penuturnya adalah ‘penjahat’ , maka bermakna ‘merampok atau pencurian. 
b.      Topik pembicaraan
   Memahami topik pembicaraan akan memudahkan memahami isi wacana, sebab pembicaraan yang berbeda akan menghasilkan bentuk wacana yang berbeda pula. Contohnya kata ‘ banting’ dalam sebuah wacana akan bervariasi maknanya, bergantung pada topik pembicaraannya. Dalam bidang ekonomi mungkin berarti ‘turunnya harga’, jika topiknya dalam olah raga yudo tentulah maknanya ‘ mengangkat seseorang dan menjatuhkannya’.
c.       Latar Peristiwa
     Faktor yang mempengaruhimakna wacana adalah latar peristiwa. Latar peristiwa dapat berupa tempat, dan keadaan psikologis partisipan atau semua hal yang melatari terjadinya peristiwa tutur. Tempat lebih banyak berpengaruh pada peristiwa tutur lisan, sedangkan keadaan psikologis partisipan di samping berpengaruh pada peristiwa tutur lisan juga bnayak berpengaruh pada peristiwa tutur tulis.
Latar peristiwa menentukkan latar wacana, contoh di warung kopi, jika ada pembeli bertutur ‘ Teh, Bu!, maka pelayan warung akan menafsirkan ujaran tersebut adalah ‘ segelas air teh’. Berbeda jika ujaran teh, Bu!’ di ucapkan di toko, maka pelayan tokoh akan menafsirkan sebagai ‘daun the yang sudah dikeringkan’ bukan ‘ air teh’.
Keadaan psikologi juga mewarnai bentuk dan makna wacana. Contoh: jika dalam keadaan normal ada seseorang mengatakan kata ‘Bagus!’ pada orang yang berprestasi maka itu adalah sebuah pujian, sebaliknya jika seseorang mengatakan ‘Bagus!’ pada seorang ‘pemalas” maka maknanya berubah menjadi cemohan.
d.      Penghubung
   Penghubung adalah medium yang dipakai untuk menyampaikan topik tutur. Untuk menyampaikan informasi, seorang penutur dapat mempergunakan penghubung dengan bahasa lisan dan/atau tulis dengan paralinguistiknya. Ujaran lisan dapat dibedakan berdasarkan sifat hubungan partisipan tutur, yaitu langsung (seperti berdialog) dan tak langsung (seperti telepon, teleks dll.)
Ujaran tulis merupakan sarana komunikasi dengan menggunakan tulisan sebagai perantaranya, misalnya wujudnya berupa surat, pengumuman, edaran, undangan, telegram, dll.
Pemilihan penghubung itu sangat bergantung kepada beberapa factor, yaitu kepada siapa ia berbicara, dalam situasi bagaimana(jauh atau dekat).
e.       Kode
     Kalau penghubungnya itu lisan, maka kodenya dapat dipilih antara salah satu dialek bahasa yang ada. Akan kurang tepat jika penggunaan ragam bahasa baku digunakan untuk tawar menawar di pasar, sebaliknya ragam bahasa nonbaku kurang tepat jika digunakan untuk berkhotbah di mesjid. Pemilihan kode bahasa yang tidak tepat sanagt berpengaruh pada efektifan komunikasi yaitu akan timbul kesalahpahaman komunikasi.
f.       Bentuk pesan
     Faktor yang mempengaruhi bentuk makana wacana adalah bentu pesan. Jika pendengarnya bersifat umum dan dari berbagai lapisan masyarakat maka haruslah dipilih bentuk pesan yang bersifat umum, sebaliknya jika pendenagrnya kelompoknya bersifat khusus maka pesannya haruslah bersifat khusus.
g.      Peristiwa tutur
    Peristiwa tutur yang dimaksud di sini adalah peristiwa tutur tertentu yang mewadahi kegiatan bertutur, misalnya pidato, percakapan, seminar, sidang pengadilan, dll. Hymes (1975:75) menyatakan bahwa peristiwa tutur sangat erat hubungannya dengan latar peristiwa, dalam pengertian suatu peristiwa tutur tertentu akan terjadi dalam konteks situasi tertentu. Peristiwa tutur tersebut dapat menentukan bentuk dan isi wacana yang dihasilkan. Wacana yang dipersiapkan untuk pidato akan berbeda bentuk dan isinya denagn wacana untuk seminar.

7. Prinsip  Interpretan Lokal dan Analogi
    Prinsip interpretasi yang digunakan oleh penerima dan juga oleh analis wacana yaitu, prinsip interpretasi lokal dan prinsig analogi.
    Menurut Brown dan Yule (1983:59), prinsip interpretasi lokal menuntun untuk tidak menyusun konteks yang lebih luas dari yang di butuhkan. Jadi, jika seseorang mengatakan ‘ Tutup pintu itu!’, maka perhatian pendengar tertuju pada pintu yang berada di dekatnya. Prinsip ini sangat tergantung pada pendengar/pembaca atau analis wacana dalam mengguanakn kemampuannya dalam menginterpretasikan gejala bahasa yang dijumpainya. Prinsip interpretasi lokal tidak hanya berlaku untuk tempat saja akan tetapi juga terhadap waktu kejadian.
    Di atas telah disinggung bahwa penafsiran lokal tersebut dimungkinkan oleh pengetahuan kita terhadap pengalaman yang serupa pada masa lampau dan pengetahuan kiat tentang ‘dunia’. Pengalaman-pengalaman manusia itulah yang membimbing manusia di samping tentunya akal budinya dalam menyesuaikan tingkah lakunya dengan kebiasan-kebiasaan dal masyarakat. Jadi, manusia mempergunakan akal budinya yang didasarkan atas pengalaman-pengalamannya. Dengan kata lain, ia menerapkan apa yang disebut prinsip analogi. Dengan prinsip ini sebenarnya manusia berpikir secara ‘berharap’. Prinsip analogi ini sangat penting dalam menentukan penafsiran ujaran di dalam konteks, pengalaman masa lampau yang relevan bersama prinsip penafsiran lokal akan mendorong pendengar/pembaca mencoba menafsirkan uajaran yang  berurutan sebagai hubungan dengan topik yang sama.




Sumber: 
Arifin, Bustanul dan Abdul rani. 2000. Prinsip-prinsip Analisis Wacana. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.